Namaku Pram: Catatan Sastrawan Bertangan Dingin



Memulai hidup di Blora pada tahun 1925, Pramoedya Ananta Toer yang merupakan seorang Jawa tulen yang mendedikasikan hidup dan pikirannya kepada Indonesia. Tulisannya yang terkenal penuh dengan kritik dingin terhadap pemerintah dan feodalisme Jawa membuat beberapa karyanya dilarang untuk dibaca publik dan membuat Pramoedya menghabiskan hampir separuh hidupnya dalam pengasingan. Meskipun perjalanan hidupnya hingga menghasilkan karya-karya fenomenal tidaklah mulus, pada akhirnya Pramoedya adalah sastrawan terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer yang tertuang dalam catatan dan surat dipaparkan secara gamblang dalam pameran Namaku Pram: Catatan dan Arsip yang diselenggarakan di Dia.Lo.Gue Art Space Kemang, Jakarta Selatan sejak tanggal 17 April hingga 20 Mei 2018 lalu. Didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, pameran ini menampilkan sosok Pram sebagai penulis dan sebagai seorang dokumentator Indonesia.

Setelah melewati pintu masuk Dia.Lo.Gue Art Space, pengunjung seperti dibawa melalui ruang dan waktu ke masa dimana Pram merintis karyanya. Diiringi oleh musik klasik yang melankolis, riwayat hidup Pram yang terentang sepanjang dinding ruangan utama menyambut pengunjung; memperkenalkan Pram di masa mudanya ketika beliau lahir, bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di Blora, hingga meraih penghargaan dari Michigan University (Amerika) atas karya-karyanya.
Taman Kata di Pameran Namaku Pram. Kiri: kutipan dari novel "Panggil Aku Kartini Saja", kanan: kutipan dari catatan Pramoedya

Meskipun pada zamannya, Pram bukanlah siswa yang cemerlang, tetapi semangatnya untuk belajar membuatnya terus melanjutkan sekolah hingga sekolah tinggi. Pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, Pram sempat bergabung dengan Resimen 6 dengan pangkat letnan dua dan ditugaskan di Cikampek. Pada tahun 1947, Pram ditangkap oleh Belanda dengan tuduhan menyimpan dokumen pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Pram kemudian diasingkan ke Pulau Edam dan Bukit Duri hingga tahun 1949. Selama masa itu, Pram aktif menulis cerpen dan buku.

Ketika kamu hidup di tahun 1950an di negara yang baru merdeka dan mengalami perubahan sistem pemerintahan, salah satu cara untuk memberi opini kepada pemerintah adalah menulis. Mengumpulkan arsip, menelaah dokumen dan menuangkannya dalam suatu tulisan merupakan hal yang dilakukan oleh Pram di masa mudanya setelah lulus dari sekolah tinggi. Tulisannya yang pertama berhasil diterbitkan di koran lokal. Setelah tulisan pertamanya terbit, Pram mulai melahirkan karya-karya lainnya, yang pada periode awal berhasil dipublikasikan di koran-koran.

Semakin lama, tulisan Pram semakin kaya atas kritik dan pertanyaan pedas terhadap pemerintah yang berwenang. Pemikiran Pram pada masa itu bukanlah suatu pemikiran yang mudah diterima oleh masyarakat dan pemerintah. Selain itu, partisipasinya sebagai ketua LEKRA (Lembaga Kesenian Jakarta) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N. Aidit membuat cara pandang Pram sebagai seniman bertolak belakang dengan para seniman lain di zaman itu. Sehingga pada tahun 1965, Pramoedya ditahan tanpa pengadilan dan pada tahun 1969, Pram dibuang di Pulau Buru hingga tahun 1979. Pada tahun-tahun ketika beliau menjadi tahanan politik PKI, Pram menulis karyanya yang paling fenomenal, Bumi Manusia; sebuah novel yang mengawali cerita Tetralogi Buru.

Pameran Namaku Pram dipenuhi oleh catatan-catatan dalam memproduksi karyanya selama ditahan di Pulau Buru dan surat-surat antara Pram dengan keluarganya yang membuat pengunjung emosional. Etalase-etalase di tengah ruangan pameran diisi oleh kliping koran dan arsip yang dikumpulkan oleh Pram sebagai bahan tulisannya dan diisi oleh cetakan pertama buku-bukunya yang belum sempat beliau selesaikan serta yang pernah dihanguskan oleh pemerintah. Etalase di sebelah kiri ruangan dipenuhi oleh surat dari istrinya dan anak-anaknya yang dipamerkan secara gamblang, nyata dan polos sehingga pengunjung sampai bisa merasakan perasaan antara orang-orang yang berkomunikasi melalui surat tersebut. Pada ruangan pertama ini, pengunjung tidak diperkenankan mengambil foto.

Replika ruang kerja Pramoedya di kediamannya di Bojong Gede

Pameran dilanjutkan ke ruangan kedua, yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan Minke (tokoh utama yang fenomenal dari Tetralogi Buru) dan lukisan-lukisan Pramoedya yang dibuat oleh berbagai seniman. Terdapat pula replika ruangan kerja Pramoedya selama beliau tinggal di rumahnya di Bojong Gede, Jawa Barat. Cuplikan-cuplikan dari novel Pramoedya yang tertulis di atas lembaran-lembaran putih yang tergantung bebas di taman belakang Dia.Lo.Gue Art Space menjadi bagian penutup dari pemeran Namaku Pram ini. 

"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan" - Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia

Comments

Popular posts from this blog

What’s currently happening in forests: A perspective on how trees coping with the changes in climate.

Underrated statistic measures that you may want to start considering.

Should we worry about climate change?