The Postmistress by Sarah Blake (ID)
Surat yang Mengakhiri Cerita dan Mengawali Pertemuan
Ada banyak buku yang aku beli
tapi tidak pernah aku baca. Buku ini adalah salah satunya. The Postmistress sudah tersimpan di rak bukuku sejak beberapa
minggu yang lalu dan merupakan buku yang selalu aku hindari hanya karena
ceritanya roman. Aku selalu lemah dengan novel roman karena akhir
ceritanya yang menyedihkan selalu membuat aku hampir menangis. Meskipun
tergolong ke dalam genre roman, Sarah
Blake menyajikan cerita percintaan antara Emma dan Will Fitch pada masa sebelum
Perang Dunia II secara tegas, indah, ironis dan mendalam.
Iris James merupakan seorang
kepala kantor pos yang ditugaskan di Cape Cod, Franklin, Massachusetts. Sebagai
seorang kepala kantor pos, Iris memiliki kontrol penuh terhadap surat-surat
yang masuk ke kantornya yang pada saat itu merupakan sarana komunikasi yang
penting dan sakral. Melalui Iris James, Sarah Blake menceritakan betapa surat
merupakan sarana bagi orang-orang untuk menyampaikan berita mereka kepada orang-orang
lain. Rangkaian tulisan di atas surat bisa saja mengubah kehidupan seseorang
dan mengakhiri harapannya akan hidup, sehingga terkadang Iris James terpikir
untuk membuka surat-surat tersebut, melihat isinya, dan menahan surat itu di
kantornya jika isinya mungkin akan mengakhiri harapan seseorang akan hidup. Seperti
berita kematian. Atau seperti surat yang dititipkan oleh Will Fitch untuk
istrinya kepada Iris satu hari sebelum keberangkatannya ke London.
Pada tahun 1940-1941, London
bukanlah tempat yang aman untuk dikunjungi oleh seseorang. Will Fitch adalah
seorang dokter muda yang tinggal di kota kecil di Franklin bersama istrinya,
Emma Fitch. Pada umumnya, cerita The
Postmistress berputar di sekitar Emma dan Will. Will bertemu dengan Emma
ketika harapan Emma akan hidupnya telah berakhir, bahwa tidak ada seorang pun
di dunia ini yang akan memedulikan ia setelah semua keluarganya meninggal
akibat serangan bom di Inggris. Will merupakan harapan baru bagi Emma, sehingga
setelah menikah dan tinggal di Cape Cod, Emma berusaha sebaik mungkin untuk
membuat Cape Cod dan rumah mereka sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi Will.
Namun, ternyata hidup berkata lain. Will telah menyebabkan seseorang meninggal
di Cape Cod dalam suatu prakteknya yang membuat ia pergi ke London sebagai tindakan
untuk menebus kesalahannya. Ia memiliki pendirian bahwa ia harus menebus nyawa
yang melayang itu oleh nyawanya sendiri. Dengan pendirian ini, Will berangkat ke London
untuk bertugas sebagai sukarelawan dokter.
Inggris sedang porak poranda
akibat serangan Blitzkrieg yang dilancarkan
oleh pasukan Jerman pada saat Frankie Bard, seorang jurnalis dari Amerika,
memutuskan untuk pindah ke London. Frankie Bard merupakan reporter yang bekerja
dengan Edward R. Murrow pada stasiun radio di London yang menyuarakan kondisi
Eropa ketika diserang oleh Nazi Jerman. Sarah Blake menceritakan kembali suara
Edward R. Murrow, seorang koresponden CBS yang membacakan berita radio dari
London untuk membangkitkan kepedulian Amerika terhadap perang yang sedang
terjadi. Di bawah arahan Murrow, Frankie menceritakan keadaan London ketika
perang seperti pedagang susu yang berusaha mempertahankan persediaan susunya
setiap hari seakan perang tidak pernah terjadi atau seorang anak yang pulang
ke rumahnya setelah berlindung di shelter bawah tanah hanya untuk menyadari
orangtuanya telah meninggal bersamaan dengan hancurnya rumah mereka akibat
serangan bom. Di London, pada saat berlindung di shelter bawah tanah, Frankie
bertemu dengan Will. Pada saat yang sama, di Amerika, Emma Witch yang
mengharapkan kepulangan suaminya sedang mengandung anak pertamanya. Inilah awal
dari tali yang menghubungkan cerita Frankie, Iris dan Emma di novel The
Postmistress.
Buku ini menarik dibaca karena
memberikan gambaran dan deskripsi kondisi perang di Eropa. Dibalik kesengsaraan
dan ketidakpastian kehidupan semasa perang di Eropa, kehidupan di Amerika
berjalan seakan perang tidak pernah terjadi. Ketika warga London mencari tempat
perlindungan semenit sebelum bom diluncurkan oleh pesawat Jerman, warga Amerika
mematikan radio yang menyiarkan berita tentang kondisi London dan berkata “Frankie
should get control of herself”. Selama tinggal di London dan mengumpulkan
berita tentang keadaan Eropa, jiwa kemanusiaan Frankie tergelitik. Sepanjang
novel, Sarah Blake membawa pembaca dalam perjalanan Frankie dari London menuju
Berlin, kemudian menuju Lisbon melalui perbatasan Prancis. Dalam perjalanan
itu, Frankie melebur dengan pengungsi Yahudi yang akan naik kapal di Lisbon
menuju negara lain yang mau menampung mereka. Di atas kereta, dalam perjalanan
2 (dua) minggu, Frankie mengoleksi sepatah cerita kehidupan mereka baik sebelum
para Nazi menangkap mereka di rumah-rumah mereka, maupun setelah mereka
memegang surat jalan dan menunggu kereta yang akan mengantarkan mereka ke
pelabuhan Lisbon. Sarah Blake mendeskripsikan harapan dan perjuangan para
pengungsi ini dengan cara sederhana yang menarik tetapi tetap menyakitkan.
Deskripsi yang dicurahkan oleh Sarah Blake dalam novel ini membuat pembaca
merasa sedang berada di tempat yang sama dengan Frankie dan para tokoh lainnya.
Sayangnya, selain cerita Frankie, novel ini tidak
memiliki cerita menonjol lainnya. Disamping semangat Frankie yang berapi-api
serta pengembangan karakter Frankie yang menonjol, novel ini hanya menceritakan
kesedihan dan pengharapan Emma serta kekhawatiran Iris terhadap kondisi Emma. Cerita The Postmistress yang diawali oleh
narasi hidup dari masing-masing karakter utama seharusnya bisa menjadi potensi
untuk mengembangkan konflik menjadi lebih ironis, emosional dan kuat. Sayangnya,
pertemuan antara tiga karakter utama ini terkesan dibuat-buat, dipaksakan dan
sedikit kurang menguatkan ceritanya. Bahkan pada satu titik, aku merasa
pertemuan antara tiga karakter utama ini sangat antiklimaks. Kekurangan lainnya
adalah, cerita novel ini kurang mencerminkan judulnya. Tokoh utama yang sangat
menonjol di novel ini justru Frankie Bard dan bukannya Iris James, si kepala kantor
pos. Bahkan cerita inti dari novel ini sempat hilang di pertengahan alur,
sehingga ketika aku sampai pada bab-bab akhir, aku sampai melupakan cerita
tentang Emma dan Iris. Novel ini bisa sampai pada akhir cerita hanya karena Frankie
membawanya ke akhir cerita.
Pada akhirnya, aku menyelesaikan
novel ini hanya karena aku perlu sampai pada akhir cerita. Dan ketika aku
menutup buku ini, aku benar-benar tidak mendapatkan perasaan puas setelah
membaca akhir ceritanya. Meskipun novel ini kurang emosional dan “powerful” bagiku, namun novel ini kaya
akan kosakata yang indah, well-written
dan terpadu. Sarah Blake telah berhasil memaparkan hasil risetnya mengenai kondisi
Eropa pada masa PD II dalam bentuk novel dan mengintegrasikannya dengan
kehidupan masyarakat awam. Aku merekomendasikan buku ini untuk pembaca roman
klasik.
Comments
Post a Comment